Pajak merupakan salah satu kontribusi warga negara terhadap negara yang terutang baik pribadi maupun badan yang bersifat memakasa berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1), dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
Di negara kita sendiri, Indonesia, biasanya perpajakan secara umum masih menganut sistem perpajakan yang dikenal dengan self assessment. Seperti yang sudah dijelaskan pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU KUP). Pada sistem perpajakan self assessment ini wajib pajak diberikan keleluasaan untuk dapat menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Walaupun wajib pajak sudah diberikan kebebasan untuk melakukan pembayaran hingga perhitungan pajak sendiri, tetap saja Direktorat Jenderal Pajak harus tetap melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas SPT yang telah disampaikan oleh wajib pajak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 KUP, DJP dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP), selain itu DJP juga memiliki wewenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang tealh diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP.
Walaupun DJP sudah menerbitkan STP dan SKPKB serta surat lainnya seperti Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) terdapat jumlah pajak yang masih harus dibayar, termasuk terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, jika wajib pajak belum juga membayar utang pajak sampai dengan waktu yang telah ditentukan maka akan dilakukan penagihan pajak.
Penagihan pajak merupakan tindakan yang dilakukan agar wajib pajak atau penanggung pajak dapat melunasi utang pajak serta biaya penagihan dengan cara memperingatkan wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban mereka untuk membayar utang pajak. Salah satu tindakan penagihan yang dilakukan oleh DJP yaitu dengan cara dilakukannya pembelokiran.
Pemblokiran merupakan salah satu dari kegiatan penyitaan yang dilakukan DJP untuk menyita/mengambil barang penanggung pajak sebagai jaminan untuk melunasi utang pajak yang telah diatur oleh perundang – undangan. Apabila wajib pajak tidak kurun membayar utang pajak tersebut dalam waktu 2 kali 24 jam sejak diberikannya surat pemberitahuan Surat Pakas, maka jurusita pajak akan melakukan penyitaan terhadap barang milik wajib pajak yang dapat digunakan sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
Pada Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa merupakan tindakan pengamanan harta kekayaan milik penanggung pajak yang tersimpan dibank yang bertujuan agar harta tersebut tidak mengalami perubahan apapun, kecuali penambahan jumlah atau nilai.
Bukan hanya penyitaan barang saja tetapi DJP juga dapat melakukan pemblokiran rekening yaitu rekening tabungan, rekening koran, giro, atau bentuk lainnya. Pemblokiran rekening dapat dilakukan dengan cara mengajukan permintaan kepada bank oleh penjabat/ Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Selain itu pemblokiran rekening ini juga dapat dilaksanakan terhadapa rekening efek. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000. Pemblokiran ini dapat dilakukan jika DJP melakukan kegiatan penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi dan saham.
Selain pemblokiran terhadap harta kekayaan penanggung pajak, pemblokiran juga dapat dilakukan dalam rangka penagihan pajak yang dapat dilakukan atas akses sistem. Sistem yang dimaksud yaitu Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). SABH merupakan sistem pelayanan administrasi perseroan secara elektronik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
Pemblokiran akses SABH Perseroan Terbatas sudah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemblokiran dan Pembukuan Pemblokiran Akses Sistem Administrasi Badan Hukum Perseroan Terbatas.
Sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2012, permohonan pemblokiran ini hanya dapat dilakukan oleh pemegang saham. Pertama, pemegang saham yang memiliki saham paling rendah sebesar 51%. Kedua, pemegang saham yang memiliki saham paling rendah 1/10 saham dalam perseroan.
Jenis pemblokiran lain yang biasanya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu pemblokiran akses kepabeanan. Tetapi dengan adanya kentuan pada Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.04/2019 tentang Penyederhanaan Registrasi Kepabeanan, pemblokiran akses ini hanya dapat dilakukan jika berdasarkan rekomendasi dari DJP. Untuk penagihan pajak yang dapat dilakukan pemblokiran Akses Kepabeanan pada pengguna jasa yang tidak memberitahukan data kepemilikan barang yang sebenarnya pada dokumen pemberitahuan bapean ekspor atupun impor, yaitu dapat dilakukan penagihan pajak berdasarkan rekomendasi dari unit internal maupun intansi terkait dengan peraturan perundang – undangan pada Pasal 17 huruf o Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.04/2019.
Banyak sekali jenis pemblokiran yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai dari pemblokiran rekening, pemblokiran efek, pemblokiran akses SABH PT,dan pemblokiran akses kepabeanan. Pemblokiran ini juga dapat digunakan sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh penanggung pajak. Semua pemblokiran itu dilakukan agar penanggung pajak dapat membayar utang pajak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sebagai warga negara yang baik kita harus patuh terhadap peraturan yang ada apalagi untuk membayar pajak sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai warga negara yang baik. Bukan hanya di Indonesia saja tetapi diseluruh negara menerapkan kewajiban membayaran bagi seluruh warga negaranya.